Ini hanya opini penulis. Semua yang ada bukanlah berdasarkan data yang valid tetapi hanya pengalaman penulis yang hidup hampir 13 tahun di Jogja sebagai perantau.
Saat artikel ini ditulis, di sosial media sedang hangat membicarakan tentang UMR Jogja.
Banyak yang menganggap UMR Jogja “keterlaluan” dibandingkan dengan kebutuhan hidup masyarakat abad ini. Saya melansir dari website Kompas untuk detail UMR Jogja dengan rincian sebagai berikut :
Kota Yogyakarta sebesar Rp 2.004.000
Kabupaten Sleman sebesar Rp 1.846.000
Kabupaten Bantul sebesar Rp 1.790.500
Kabupaten Kulon Progo sebesar Rp 1.750.500
Kabupaten Gunungkidul sebesar Rp 1.705.000
Banyak orang yang menanyakan UMR Jogja yang “begitu rendah”. Namun memang kita tidak tahu apakah yang mempermasalahkan tersebut memang
1. warga asli Jogja, atau
2. perantau yang hidup di Jogja dengan gaji Jogja atau
3. pendatang di Jogja tetapi tetap menggunakan UMR daerah asal semisal Jakarta.
Kita tidak tahu.
Nah saya ingin sekadar menulis tentang apakah memang serendah itu UMR Jogja?
Jikapun rendah apa perbandingannya? Dengan biaya hidup atau gaya hidup?
Sebenarnya UMR Jogja menurut saya wajar saja jika dibandingkan dengan biaya hidup sehari-hari. Namun karena Jogja adalah kota pelajar dan yang datang dari penjuru Nusantara maka mulai ada bias keuangan.
Jika orang Jakarta, Bandung, Surabaya atau teman-teman Papua datang ke Jogja dengan “keuangan” dari kota masing-masing maka akan terasa sekali seperti orang kaya.
Tanah di Jogja juga meningkat harganya karena adanya beberapa pendatang dari kota besar yang memilih hari tua di Jogja (Ini sekali lagi bukan berdasar data tetapi hanya analisis penulis saat tinggal di dekat Stadion Maguwoharjo)
Mereka membeli tanah atau developer membeli tanah kemudian dibangun rumah. Nah tanah di sebelahnya ikut dinaikkan dan kemudian terjadilah harga tanah yang tidak wajar bagi “orang Jogja”.
Penulis beberapa kali berdiskusi dengan warga asli Jogja yang mengatakan bahwa NJOP tanah malah mengikuti harga pasaran tanah.
Orang Jogja kebanyakan yang penulis kenal dan di circle penulis akan cenderung lebih hidup dengan prinsip sakmadya atau opo anane lan ojo ngoyo.
Mereka di malam hari lebih suka ngobrol2 di pojokan rumah, di angkringan2 atau di pos ronda. Tidak ada pembahasan tentang akan menambah penghasilan dengan gila-gilaan menggunakan konsep lembur.
Saat berkulineran penulis masih sering menjumpai makanan dengan porsi yang relatif istimewa namun tetap dengan harga Jogja. Namun ada beberapa teman penulis yang karyawan universitas terbesar di Yogya yang “mood booster” hariannya adalah kopi “bintang uang” janji suci, kenangan dll. Ora njogjani to?
Kesimpulannya apa?
Kehidupan asli Jogja sebenarnya seperti yang orang-orang bilang “Nikmat dan Ngangeni”.
Tetapi jika bicaranya masa depan dengan opsi memiliki tanah, rumah maupun penghidupan yang lebih baik maka akan sangat susah. UMR Jogja bukannya rendah tapi memang terendah di Indonesia (Sumber) dan Jogja menjadi “jujugan” orang yang ingin kuliah, wisata dan pensiun atau menikmati hari tua dan sayangnya mereka membawa UMR dari daerah masing-masing yang jelas jauh lebih tinggi dari Jogja.
Kondisi ini semakin memperparah bahwa hati-hati bagi orang Jogja kemungkinan besar tidak akan bisa lagi hidup di Jogja (punya rumah atau tanah) sebagai “penduduk Jogja yang berhati nyaman”.
Sumber gambar :
1. https://kelilingjogja.id (Featured image)